Februari 10, 2014

Ironi Komoditas Jambu Mete di Sumba Timur

Jambu Mete (Anacardium occidentale)
Siapa tidak mengenal jambu mete, buah yang di hasilkan oleh jenis tumbuhan yaitu jambu mete atau dengan nama ilmiah Anacardium occidentale. Buah mete adalah buah sejati yag umumnya dimanfaatkan untuk bahan makanan yang memiliki kekhasan rasa setelah melalui proses pengolahan menjadi kacang mete. Selain dari buahnya, bagian-bagian lain dari tumbuhan yang berasal dari Brasil ini diantaranya adalah daun muda dapat dimanfaatkan untuk lalapan makan, sedangkan daun  tua dapat dijadikan sebagai obat tradisional untuk mengobati penyakit kulit dan obat pencahar. Sedangkan buah semu jambu mete dapat diolah menjadi syrup serta dapat digunakan sebagai makanan ternak. Jambu mete dapat tumbuh dengan baik pada daerah dengan ketinggian 0 hingga ± 700 meter dari permukaan air laut.

Distribusi tumbuhan jambu mete di kabupaten Sumba Timur hampir sebagian besar di wilayah bagian selatan. Termasuk diantaranya adalah desa-desa yang terletak di sekitar kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti. Produksi jambu mete yang melimpah diantaranya adalah di desa Wahang, Tawui, Wanggabewa dan desa Nggongi. Hampir setiap penduduk memiliki lahan tidak kurang dari satu hektar ditanami pohon jambu mete yang kurang lebih ditanam sejak tahun 1995. Berdasarkan salah satu data yang dihimpun dari data statistik daerah Kecamatan Pinupahar tahun 2012 menunjukkan bahwa tanaman perkebunan yang memiliki produksi paling besar adalah jambu mete mencapai 79,25 persen dari hasil tanaman perkebunan, yaitu 504,9 ton. Hal ini tentu saja memiliki prospek yang menguntungkan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat jika pasca panen dikelola dengan baik.

Musim panen jambu mete berkisar pada bulan September hingga Desember di setiap tahunnya. Kondisi yang terlihat pada saat pasca panen adalah buah mete hanya dijual gelondongan dan sebagian kecil saja dijual dalam bentuk kupasan (siap goreng). Harga jual buah mete dalam bentuk gelondongan berkisar Rp 7000,- per kg hingga Rp 8000,- per kg . Namun pada suatu waktu dapat mengalami perubahan harga secara signifikan yaitu pada level terendah pada kisaran harga Rp 3.500,- dan level tertinggi pada kisaran harga Rp 12.000,- tergantung dari kuantitas produksi dan kualitas buah mete tersebut. Namun jika dibandingkan dengan buah mete yang telah dikupas menjadi kacang mete, dimana dalam setiap 3 kg buah mete menghasilkan 1 kg kacang mete maka harga jualnya dapat mencapai Rp 100.000,- per kg hingga Rp 110.000,- per kg. Bila data diatas dikalkulasikan maka hasil yang diperoleh dari pemasaran dalam bentuk kacang mete ±18,5 Milyar. Sedangkan bila dipasarkan dalam bentuk gelondongan hanya menghasilkan ±6 Milyar. Terlihat bahwa keuntungan yang bakal diperoleh adalah hampir tiga kali lipat. Sangat disayangkan peluang tersebut belum dimanfaatkan dengan baik.

Beberapa kendala yang dijumpai di lapangan sebagai factor penyebab pengelolaan pasca panen kurang berjalan dengan baik adalah minimnya peralatan untuk mengupas buah mete. Disisi lain dalam hal pemasaran juga menjadi kendala akibat jalan penghubung menuju kabupaten kurang memadai. Hal ini mengakibatkan masyarakat kesulitan untuk memasarkan hasil pasca panen buah mete. Kondisi demikian memicu munculnya “papalele” (papalele dalam bahasa sumba: tengkulak) yang justru tidak menguntungkan bagi masyarakat itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri bahwa permainan harga kerap muncul diantara papalele tersebut. Dilema akhirnya timbul di masyarakat yaitu antara menjual buah mete pasca panen berupa gelondongan yang jelas mudah dan cepat tanpa memerlukan biaya dan tenaga lagi, atau melalui pengolahan lebih lanjut dalam bentuk kacang mete yang tentunya memiliki harga jual yang lebih tinggi namun perlu waktu lama, biaya dan tenaga.

Dalam kondisi demikian sangat perlu kiranya pihak pemerintah bersama dengan masyarakat saling bersinergi untuk mengelola secara nyata komoditas buah mete tersebut sehingga memberikan nilai ekonomi lebih yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendampingan dari instansi terkait mutlak diperlukan agar mampu memberikan semangat dan  motivasi bagi masyarakat. Untuk menghimpun petani jambu mete perlu dibentuk suatu wadah misalkan saja dalam bentuk “koperasi tani mete” yang mampu menampung hasil pasca panen dan mewajibkan untuk tidak menjualnya selain kepada koperasi tersebut. Selanjutnya dapat menciptakan jaringan pemasaran secara berkelanjutan sehingga mampu menekan munculnya papalele sebagai pemicu munculnya permainan harga yang jelas-jelas merugikan masyarakat. 

Hal lain yang tidak kalah penting adalah pemakaian teknologi tepat guna yang sudah ada berupa “kacip” perlu ditingkatkan dan dikembangkan sehingga masyarakat termotivasi untuk mengolah buah mete pasca panen dalam bentuk kacang mete. Bila hal-hal diatas dapat dikondisikan dengan baik maka dapat diprediksi bahwa jalan menuju kesejahteraan masyarakata akan terbuka lebar. Karena bagaimanapun juga tingkat kesejahteraan masyarakat merupakan refleksi dari  keberhasilan roda pembangunan. 


Flag Counter
 

Copyright © Resort Tawui TN MATALAWA Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger